Kebetulan saya mengurus berkas tidak sendirian, tetapi
bersama seorang teman. Siapa lagi kalau bukan Ecul. Tubuh semampai, kulit sawo
matang sedikit hangus dan berambut, brewokan tipis-tipis tajam yang bikin cewek-cewek pada teriak,
berkacamata dengan mata seperti baru bangun, wajah tampang cool, dan rambutnya
dengan style yang selalu sama, yaitu jatuh ke depan.
Saat mengisi curriculum
vitae bersamanya, yang membuatku bungkam seribu bahasa dan seakan menjadi seorang
the looser adalah prestasi yang
pernah diraihnya. Ada lebih sepuluh prestasi yang pernah dia ukir. Kalau bukan
juara 1, 2, yaa 3! Mulai lomba tingkat lokal sampai nasional pernah ia raih. Saking banyaknya prestasinya, 3 lembar curriculum vitae pun hampir tidak muat
diisinya. Ngeri! Dibandingkan dengan
saya, 2 lembar curriculum vitae pun
sepertinya terlalu banyak untuk diisi mengingat takada satu pun prestasi
akademik yang pernah saya raih.
“Akhirnya, fiuh!”
Selesai juga pengumpulan berkasku di bagian fisiologi berkat
the power of kepepet. Adalah
ke-jarang-an bisa masuk dibagian yang katanya ‘tempat orang-orang burenk’
tersebut.
Sempat melihat siapa-siapa saja yang memasukkan berkasnya
sebagai pelamar fisiologi. Dan seperti dugaanku, yang mendaftar adalah
‘mereka’.
Trek!
Pintu bagian fisiologi saya tutup.
Sedikit melangkah, dan tanpa sengaja layangan pandanganku
mendarat pada sebuah papan disamping atas bagian fisiologi. Entah mengapa tanpa
alasan yang jelas, papan tersebut mengalihkan pandanganku. Padahal, tiap hari
saya sering melihatnya.
“UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS KEDOKTERAN
BAGIAN ILMU FAAL
DEPARTMENT OF PHYSIOLOGY”
Sambil mengelah nafas, saya tersenyum dan berazzam, berharap
yang terbaik dengan usaha yang dilakukan.
“Yaa, Allah! Berikanlah
hambamu ini jalan yang terbaik menurut-Mu. Bismillah!”
Teringatlah saya pada sebuah perkataan dari Friederick Goethe. Kata-kata itulah yang
tertanam kuat dalam hati sebagai motivasi tersendiri bagiku.
Apapun yang dapat
engkau lakukan atau impikan dapat engkau lakukan, lakukanlah itu! Keberanian
itu punya kuasa, keajaiban, serta kejeniusan di dalamnya
Saya pun merogoh
kantong kiri untuk mengambil telpon genggam sambil melihat kiri dan kanan,
apakah ada orang yang lalu-lalang
atau tidak. Lalu mencari opsi “kamera”, klik. Dan,
Jeprett!
Saya mengambil foto
papan tersebut.
Saya simpan dengan niatan bisa melihat papan tersebut sambil
belajar ataupun sebagai trigger semangat
ketika saya lagi malas mempersiapkan diri untuk tes atau belajar agar kembali on fire. Bahkan saya sering memasangnya
sebagai Display Picture di Blackberry Messenger.
“Mudah-mudahan nggak
terlihat alay.” batinku.
Sambil senyum-senyum sendiri tidak jelas.
**************
Setelah menunggu hari demi hari, akhirnya pengumuman berkas
pun ditempel. Dua puluh orang calon asisten lulus tanpa syarat apapun. Sadar
dengan nama-nama yang tertempel, membuat nyali saya terpacu. Bismillahlah yang menguatkan dan memantapkan hati untuk ‘maju
gondrong’. Walaupun rambutku tidak gondrong.
Minggu, jam 3 sore. Tes pertama, tes tulis.
Semua peserta telah hadir, kecuali satu orang.
“Si ecul kemana yaa?
Kok nggak ikut?” batinku. Begitu pula teman-teman yang lainnya bertanya
seperti itu.
“Hmm, mungkin aja dia
telat. Itu anakkan memang suka telat.”
Peserta pun dipersilahkan untuk masuk di sebuah ruangan
kuliah di lantai tiga. Terpaan suhu yang rendah diruangan tersebut menyebabkan
jantungku semakin tachicardi.
Walaupun begitu, harus tetap tenang agar bisa fokus.
Tidak lupa, sebelum mulai ujian, wajah sang ibu teringat di
benakku. Tanpa pikir panjang, kuraih telepon genggamku untuk menelepon ibu.
“Bu, doakan anakmu
yang tampan ini, ya!”
Sambil tertawa renyah, ibu menjawab, “Iaa nak. Bismillah.”
Aba-aba pun dikumandangkan.
“Sudah siap? 1,2... 3,
mulai!”
Mulailah para peserta calon asisten mengerjakan soal yang
terdiri dari pilihan ganda, isian, dan essay. Dalam waktu kurang dari 90 menit,
berharap semua soal bisa dilalap habis.
Di soal tersebut, selain terdapat soal dari sistem-sistem yang
pernah dilewati, ada juga soal yang dimasukkan dari sistem yang belum pernah
dilewati, seperti Special Sense (SS) dan
Gastroenterohepatologi (GEH). Dan
kebanyakan soal-soal dari SS dan GEH yang membuat kening saya berkerut terus.
Terkadang pun saya menjawab dengan sistem ‘kancing baju’.
Hanya segelintir soal yang dapat saya selesaikan dengan
baik, penuh keyakinan.
“Mungkin usahaku masih
kurang yaa.”
70 menit berlalu.
Belum tampak adanya penampakan dari batang hidung si Ecul.
Semakin membuat penasaran saja.
“Ini anak pasti nggak
jadi ikut. Tapi kenapa? Pasti ada apa-apanya, nih!”
Waktu tinggal beberapa menit lagi dan masih banyak jawaban
belum terisi lantaran masih kurang yakin. Badanku pun mulai menggeliat bagaikan
anak kecil yang kecacingan. Sejenak saya melempar pandanganku ke arah peserta
lain. Satu kata untuk menggambarkan mereka, serius! Setidaknya itu membuat saya
tersinggung agar tetap melanjutkannya hingga akhir.
Berbekal mental baja dan tawakkal, saya tetap maju.
Keesokkan harinya.
Tepat dugaanku.
“Begitu, Yan. Itulah
sebabnya saya nggak ikut.”
“Trus, kenapa nggak
belajar untuk persiapan dari hari-hari sebelumnya?”
“Nggak sempat! Nggak
ada waktu bro.”
Sayangnya, dia terlihat tampak kurang serius mengikuti
seleksi asisten. Dan yang lebih parahnya lagi, ia seperti tidak menyesal dengan
keputusannya.
“Ooh, saya tau! Kamu
nggak jadi ikut karena mau naik jadi ketua BEM, kan?” Mencoba menyelidik.
“Haha, nggak lah! Itu
sih masih dipikirin. Tapi kalau jadi, kamu dukung, ya!”
“Ciee, haha! Bolehlah! Nanti
saya jadi tim suksesmu!”
({}) ibhe episode kedua keren... Cmn msh gantung... Blum tau apa hubunganx dgn judulx... Jd gak sabar lihat next episode.. *keningberkerut. :>=D
BalasHapusHehe, mksh kak :)
Hapustunggu episode slanjutnya :D
Yang namanya "Ecul" itu pasti nama aslinya Kh****... Upsss.. :X
BalasHapusAwas memang kalo ga ada hubungannya antara cerita sama judulnya sampe di episode terakhir..
hmm..betul nggak yaa?hhe!
Hapusliat aja nanti episode selanjutnya :D
makasih faris sdh mampir baca..
Sama-sama ibnu :D
Hapus