Selasa, 07 Agustus 2012

Ikut Sunnah Nabi Karena Taqwa Atau Karena Manfaat?

Dewasa ini, berbagai penelitian mengenai efek ibadah yang ditinjau secara medis, baik yang disunnahkan maupun yang diwajibkan, telah banyak ditemukan. Penelitian-penelitian tersebut dilakukan selain untuk perkembangan ilmu pengetahuan, memberikan semangat dan memiliki rasa “ingin” untuk melakukan ibadah tersebut juga memberikan gambaran bahwa segala sesuatu yang diperintahkan untuk dilaksanakan ataupun dihindari mempunyai hikmah dibaliknya. Namun, tidak sedikit dari kita yang tidak memperhatikan hal yang lebih penting dari hal tersebut. Hal yang dimaksud adalah mengenai persoalan niat. Ya, niat tulus beribadah karena Allah SWT dan Rasul-Nya.

Dari Amirul mu'minin Abu Hafsh Umar bin Al-khaththab r.a. berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda,
"Sesungguhnya amalan itu tergantung pada niatnya dan tiap-tiap manusia itu memperoleh apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang hijrah karena Allah dan Rasul-Nya, hijrahnya itupun kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya untuk tujuan dunia yang hendak diperolehnya ataupun untuk seorang wanita yang hendak dinikahinya, hijrahnya pun pada apa yang ia tuju." (HR.Bukhari Muslim)

Hadits yang mulia ini memiliki kaidah yang penting dari kaidah-kaidah Islam, yaitu qiyas yang tepat untuk menentukan suatu amalan, apakah amalan tersebut diterima atau tidak, berpahala atau tidak.

Rasulullah SAW menyatakan bahwa amalan itu tergantung niatnya. Jika niatnya shalih dan ikhlas karena Allah SWT, amalan tersebut diterima sebagai suatu ibadah. Jika sebaliknya, amalannya hanya sebatas ganjaran dunia dan ganjaran akhirat berupa pahala tidak diperoleh (sebagaimana hadits di atas).

Niat dalam syari’at itu ada dua:
1.    Ikhlas dalam beramal karena Allah SWT semata. Makna ini yang paling tinggi. Hal ini telah dibahas oleh para ahli tauhid, ulama siyar, dan ulama suluk.
2.    Membedakan suatu ibadah dari yang lainnya. Hal ini dibahas oleh ahli fiqih.

Niat itu untuk membedakan antara ibadah dengan kebiasaan (rutinitas), contoh: mandi junub. Jika seseorang mandi dengan tujuan mandi junub, mandinya adalah ibadah. Tetapi jika bertujuan sekedar rutinitas, hal ini adalah kebiasaan.

Melangkah dari hal tersebut di atas, apakah setelah melihat, membaca, ataupun mendengar informasi mengenai efek suatu ibadah terhadap kesehatan tubuh atau terhadap aspek lain (yang bermanfaat), niat kita masih tulus ikhlas beribadah karena mengharap rahmat-Nya dan meyakini bahwa segala sesuatu yang diperintahkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya memiliki hikmah atau hanya sekedar untuk mendapatkan manfaat dari ibadah tersebut? Jangan sampai kita termasuk orang-orang yang mengalaminya secara tidak sadar.

Untuk itu, terlebih dahulu penulis akan memaparkan beberapa teori mengenai baik dan buruk ditinjau dari beberapa aliran filsafat dan juga berasal dari agama Islam agar dapat membedakan pemikiran yang benar dan yang menyimpang.

Pengertian Baik dan Buruk
Dari segi bahasa, baik adalah terjemahan dari kata khoir (dalam bahasa Arab) atau good (dalam bahasa Inggris). Dikatakan bahwa yang disebut baik adalah sesuatu yang menimbulkan rasa keharuan dan kepuasan, kesenangan, persesuaian, dan seterusnya. Dikatakan buruk jika sesuatu yang dinilai sebaliknya dari yang tidak baik dan tidak disukai kehadirannya oleh manusia.
           
Peraturan Baik dan Buruk
Membicarakan baik dan buruk pada perbuatan manusia, penentuan dan karakternya baik dan buruk perbuatan manusia dapat diukur melalui fitrah manusia. Menurut Poedja Wijatna, baik dan buruk berhubungan dengan perkembangan pemikiran manusia dengan pandangan filsafat tentang manusia (antropologi metafisika). Hal ini tergantung pula dari metafisika pada umumnya.

Ada beberapa aliran-aliran filsafat yang mempengaruhi penentuan baik dan buruk. Tetapi penulis memfokuskan pada beberapa aliran-aliran yang sering dijumpai.

A.  Baik Buruk Menurut Paham Hedoisme
Paham Hedoisme adalah aliran filsafat yang terhitung tua karena berakar pada pemikiran filsafat Yunani. Menurut paham ini, perbuatan yang baik adalah perbuatan yang banyak mendatangkan kelezatan, kenikmatan, dan kepuasan nafsu biologis. Aliran ini tidak mengatakan bahwa semua perbuatan mengandung kelezatan, melainkan adapula yang mendatangkan kepedihan. Apabila disuruh memilih mana perbuatan yang harus dilakukan, ia akan memilih melakukan hal yang mendatangkan kelezatan. Apabila terjadi keraguan dalam memilih sesuatu, ia memerhitungkan banyak sedikitnya kelezatan dan kepedihannya. Sesuatu itu baik apabila diri seseorang yang melakukan perbuatan mengarah kepada tujuan.

B.  Baik Buruk Menurut Paham Utilitarianisme
Paham ini ditujukan untuk sesama manusia atau semua makhluk yang memiliki perasaan. Paham ini cenderung ekstrem dan melihat kegunaan hanya dari sudut pandang materialistik. Kegunaan dalam arti bermanfaat yang tidak hanya berhubungan dengan materi, melainkan juga yang bersifat rohani bisa diterima. Kegunaan tersebut dapat diterima jika yang digunakan itu hal-hal yang tidak menimbulkan kerugian bagi orang lain.

C.  Baik Buruk Menurut Paham Tradisonal
Tiap umat manusia mempunyai adat atau tradisi dan peraturan tertentu yang dianggap baik untuk dilaksanakan. Karena itu, kapan dan dimanapun juga, baik dan buruknya dipengaruhi oleh adat kebiasaan atau tradisi bangsanya karena lahir dalam lingkungan bangsanya.

Baik dan Buruk Menurut Ajaran Islam
Ajaran Islam adalah ajaran yang bersumberkan wahyu Allah SWT, Al Qur’an, yang penjabarannya dilakukan oleh hadits Nabi Muhammad SAW. Menurut ajaran Islam, penentuan baik dan buruk harus didasarkan pada petunjuk Al Qur’an dan Al Hadits. Inilah yang membedakan ajaran Islam dengan aliran-aliran filsafat yang dipaparkan di atas.

Ketika suatu ibadah diperintahkan, misalnya shalat, ajaran Islam memerintahkan untuk melaksanakannya dengan niat beribadah kepada Allah SWT tanpa memikirkan apa keuntungan atau kerugiannya.
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat:56)

Berbeda dengan pemikiran-pemikiran yang tidak sejalan dengan aqidah Islam, seperti paham hedonisme. Orang-orang yang termasuk dalam pemikiran ini akan bertanya-tanya bahkan memikirkan apa keuntungan dan kerugian yang akan didapatkannya. Jika keuntungannya lebih besar, mereka akan melaksanakannya tanpa didasari dengan niat ikhlas untuk beribadah kepada Allah SWT.
          *****
 



Untuk memberikan keterangan yang lebih jelas, penulis mengambil beberapa hadits shahih dari Rasulullah SAW mengenai salah satu adab tidur, yaitu tidur baring ke kanan.
“Berbaringlah di atas rusuk sebelah kananmu.” (HR. Bukhari Muslim)
“Sesungguhnya (posisi tidur tengkurap) itu adalah posisi tidur yang dimurkai Allah Azza Wa Jalla.” (HR. Abu Dawud)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah melewati seorang laki-laki yang tidur dengan posisi tengkurap maka beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya ini adalah posisi tidur yang tidak disukai oleh Allah Azza Wa Jalla. (HR. Ahmad)

Berikut adalah hikmah-hikmah yang terkandung dalam hadits-hadits tersebut ditinjau dari aspek medis berdasarkan hasil penelitian.
Posisi tidur terbaik menurut riset ilmiah adalah dengan bertumpu pada sisi kanan tubuh (menghadap ke kanan). Fakta yang telah diuji melalui riset medis modern ini bersesuaian dengan anjuran Rasulullah SAW dalam sunnah jauh sebelum era riset dan teknologi seperti sekarang. Rasulullah SAW menganjurkan kepada para pengikut beliau untuk tidur berbaring pada sisi badan bagian kanan. Dalam sunnah, posisi tidur diusahakan agar kepala menghadap ke utara dan kaki mengarah ke selatan sehingga tubuh tidak menolak arus atau medan magnet konstan mengaliri sekujur tubuh dari kutub magnetik utara menuju ke selatan. Hal ini berpengaruh baik terhadap sistem syaraf.
Lambung manusia berbentuk seperti tabung berbentuk koma dengan ujung katup keluaran menuju usus menghadap kearah kanan bawah. Jika seseorang  tidur baring kiri, proses pengeluaran chime ( makanan yang telah dicerna oleh lambung dan bercampur asam lambung ) akan sedikit terganggu. Hal ini akan memperlambat proses pengosongan lambung. Hambatan ini pada akhirnya akan meningkatkan akumulasi asam yang akan menyebabkan erosi pada dinding lambung. Posisi ini juga akan menyebabkan cairan usus yang bersifat basa dapat kembali masuk menuju lambung akibat erosi dinding lambung dekat pylorus.
Percobaan yang dilakukan oleh Galteh dan Butseh menemukan bahwa makanan dari lambung menuju ke usus membutuhkan waktu 2,5-4,5 jam jika tidur baring kanan dan membutuhkan waktu 5 sampai 8 jam jika tidur baring kiri.
Posisi tidur baring kanan yang rata memungkinkan darah terdistribusi merata dan terkonsentrasi di sebelah kanan (bawah). Hal ini akan menyebabkan beban aliran darah yang masuk dan keluar jantung lebih rendah. Dampak posisi ini adalah denyut jantung menjadi lebih lambat dan tekanan darah juga akan menurun. Kondisi ini akan membantu kualitas tidur. Tidur miring ke kanan juga membuat jantung tidak tertimpa organ lainnya. Hal ini disebabkan karena posisi jantung yang lebih condong berada di sebelah kiri. Tidur bertumpu pada sisi kiri menyebabkan curah jantung meningkat karena volume darah yang masuk ke atrium meningkat. Hal ini akan bertambah buruk bagi mereka yang memiliki riwayat gagal jantung kronis atau telah mengalami serangan jantung.
Penelitian dari Australia menyatakan kematian anak-anak tiga kali lebih tinggi apabila mereka tidur dengan posisi tengkurap dibandingkan jika mereka tidur di lambung kanan atau kiri.
Majalah ‘Times’ menyatakan kajian di Britain telah menunjukkan peningkatan kasus kematian mengejutkan pada anak-anak yang tidur tengkurap.
           *****
  
Bagaimana tanggapan kita setelah membaca hadits tersebut? Bagaimana pula tanggapan kita setelah membaca beberapa hikmah dibaliknya? Apakah dengan ini niat kita beribadah mengikuti sunnah rasul masih dilandasi oleh ketakwaan kepada Allah SWT dan kecintaan kepada rasul-Nya? Atau hanya sekedar ingin mendapatkan manfaat dan efek dari ibadah tersebut?
Apakah dulunya kita termasuk orang-orang yang yakin terhadap sunnah rasul dan setelah membaca hal tersebut keyakinan kita bertambah? Ataukah kita temasuk orang-orang yang dahulunya ragu tetapi setelah membaca hal tersebut, barulah timbul keyakinan kita karena hal tersebut memiliki manfaat?
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Hujurat: 15)

Dalam persoalan yang kecil bahkan seperti posisi tidur, telah diatur oleh Islam. Tetapi kebanyakan dari kita melupakan adab-adab yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Kita sering lalai bahkan mengikuti hawa nafsu tanpa memikirkan bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang dilarang. Jika merasa nyaman, itulah yang akan dilakukan. Tetapi setelah mendengar dan membaca bahwa hal tersebut tidak baik bagi kesehatan tubuh secara medis dari berbagai penelitian, mereka pun menjahuinya (atas dasar hasil penelitian).
Apakah ini yang menggambarkan seorang muslim? Apakah kita harus menunggu dan menunggu lagi hasil penelitian-penelitian berikutnya barulah kita akan meyakini ajaran agama Islam?

Penutup
Allah SWT dapat dengan mudah menjadikan kita sebagai orang kafir, mukmin atau tidak keduanya, semudah membalikkan telapak tangan (QS. Yasin: 82). Tetapi Allah SWT menciptakan dua kekuatan dalam diri manusia, yaitu akal dan hati yang tidak dimiliki makhluk apapun yang diciptakan-Nya. Allah SWT memberikan kebebasan kepada manusia untuk menggunakan akal dan hati dalam mencari petunjuk menuju kehidupan yang indah dan abadi di syurga-Nya dengan bekal keridhoan-Nya.
Namun, jika akal dipergunakan untuk memahami ajaran dan perintah Allah SWT dan rasulNya, inilah yang berbahaya. Ketika sejalan dengan pemikirannya, mereka akan ikuti. Tetapi jika tidak, mereka akan tinggalkan.

Akan sangat naif jika kita mengikuti ajaran-ajaran baginda Rasulullah SAW hanya disebabkan telah adanya hasil penelitian dari para ilmuwan dan bukan karena kecintaan dan keyakinan kita terhadap pedoman-pedoman hidup yang beliau ajarkan. Tentunya, di sisi Allah SWT pun tidak akan bernilai pahala apabila pedoman-pedoman hidup tersebut kita ikuti bukan karena keikhlasan dan ketakwaan kepada Allah SWT serta keyakinan dan kecintaan kepada Rasulullah SAW, tetapi hanya karena hasil penelitian manusia. Allah SWT berfirman,
Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Qur’an kepadamu (Muhammad), kitab (Al-Quran), dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allahlah agama yang bersih dari syirik.” (QS. Az-Zumar:2-3)

Kemudian dalam surat yang sama, Allah SWT memerintahkan Rasulullah SAW agar mendeklarasikan hakikat keikhlasan ini kepada umatnya.
Katakanlah Muhammad, sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama.” (QS. Az-Zumar:11)

Lihatlah para sahabat di jaman Rasulullah SAW. Ketika mereka diperintahkan melakukan suatu ibadah, mereka berkata, “Kami dengar dan kami taat” (QS Al-Baqarah: 285). Mereka tidak berkata, “Kami dengar, kami bertanya, lalu kami taat”, seperti kaum yang menganut paham hedonisme yang mempertimbangkan apakah itu membuatnya bahagia atau tidak. Dengan kesempurnaan iman yang dimiliki tanpa memikirkan apa keuntungan atau kerugian bagi dirinya, mereka (para sahabat rasul) melakukannya dengan ikhlas untuk mengikuti sunnah rasul. Karena mereka yakin bahwa apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW adalah benar.
“Apa yang diberikan Rasul kepada kalian maka terimalah ia. Dan apa yang dilarangnya bagi kalian maka tinggalkanlah” (QS. al-Hasyr:7)

Segala perilaku, ucapan, perintah, himbauan, dan tindak tanduk Rasulullah SAW adalah petuah, petunjuk, dan pedoman hidup kita sebagai umat muslim. Sudah sepatutnya kita meniru semampunya dengan keyakinan bahwa apa yang dibawanya adalah kebenaran dan pasti bermanfaat bagi kehidupan kita di dunia dan di akhirat kelak.
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. al-Ahzab:21)

Jadikanlah ketaatan kita mengikuti Rasulullah SAW adalah sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT dan sebagai bentuk kecintaan kepada Rasulullah SAW.
"Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah. (QS. An-Nisaa’:69)
"Barangsiapa yang menaati Rasul berarti dia menaaati Allah.." (QS. An-Nisa’:80)
“ ... barangsiapa menghidupkan sunnahku, berarti dia mencintaiku dan barangsiapa mencintaiku, maka dia akan bersamaku di surga.“ (HR Tirmidzi)

Sederhananya, tak perlulah kita menunggu hasil-hasil penelitian medis dan ilmiah lainnya untuk memercayai lalu mengikuti petunjuk-petunjuk yang telah diajarkan. Semoga Allah SWT menghidayahkan petunjuk-Nya bagi kita agar tetap istiqamah di jalan-Nya.

Wallahu ‘alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar