“Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah lagi yang engkau
dustakan?” (QS Rahman)
Matahari
memancarkan sinar kehidupannya
ke bumi menandakan pagi telah menampakkan dirinya. Pagi yang indah untuk
disyukuri oleh setiap hamba-Nya. Masih diberikan hembusan nafas oleh sang
Pencipta yang entah sudah berapa banyak dihirup secara gratis. Tidak seperti mereka
yang terbaring di rumah sakit yang membutuhkan tabung oksigen dengan biaya
ratusan ribu.
Tak lama kemudian, Afif mendengar suara dengan nada setengah oktaf
memanggil namanya dari luar kamarnya.
"Afif, nggak makan,
Nak? Ada buras loh kesukaan kamu!"
Mendengar ibunya berkata
seperti itu, perutnya pun mulai bernyanyi. Lapar. Meminta
sang pemilik tubuh untuk mengisinya.
Apalagi, Afif sekeluarga baru tiba dari penjelajahan kampung 1001
kuda, Jeneponto,
tadi malam. Perjalanan yang panjang menyita waktu tubuhnya untuk menyeimbangkan fungsinya
kembali. Afif bahkan tak
sempat makan malam. Seketika itu, sistem saraf
parasimpatis dalam tubuhnya mengirimkan
sinyal ke pusat saliva di batang otak yang merangsang kelenjar saliva untuk
mengeluarkan sekresinya. Tanpa
sadar, Afif merasakan air liur keluar dari sudut mulutnya.
Afif mengarahkan
pandangannya pada jam dinding. Pukul 08.19.
"Iya, tunggu, Bu!"
Sahut Afif penuh semangat. Ia beranjak dari tempatnya untuk mencari sesuap
nasi. Di ruang makan, tampak wanita separuh baya sedang mengatur kue untuk
disajikan kepada tamu yang akan datang bersilaturahmi ke rumah. Masih dalam
suasana lebaran.
“Nak,
udah coba buras yang dikasih sama tante dari Jeneponto?”
“Belum. Memangnya kenapa, Bu?”
“Ya
udah.
Cobain dulu burasnya. Tuh
ada dibelakang!”
Saat melangkahkan kaki ke dapur,
tampak beberapa
tumpukan buras yang tersedia di dandang. Ada juga yang sudah dalam keadaan
terbuka.
“Jangan
pilih yang hitam, Nak!”
“Iya, Bu!”
Setelah
piring dan sendok siap, Afif
mulai
mengais-ngais buras.
Mencari
yang warnanya segar dan enak dipandang. Tak lama kemudian, ia
pun menemukan
satu yang mengkilat. Wah, enak nih!
Apalagi dimakan dengan steak kuda! Batin Afif.
Afif
pun mencobanya. Hmm,
legit sih legit.
Tapi kok rasanya hambar?
Atau cuma perasaanku yaa? Pikirnya dengan kening yang sedikit dikerutkan.
“Ibu
sudah cobain
burasnya?"
“Iya,
sudah Nak.”
“Bu! Memang Afif suka ngomentari masakan Ibu. Ini suer loh Bu! Nggak ada maksud
Afif
untuk menyinggung masakan Ibu. Tapi, burasnya kok agak hambar ya, Bu?”
Ibunya
pun tersenyum renyah.
“Iya,
Nak. Ibu juga rasa gitu kok. Makanya
Ibu
nggak ngasih tau supaya kamu coba
sendiri! Tuh, coba kamu rasain buras yang di atas meja.”
Afif
pun
mengambil sepotong buras yang ada di meja. Penampakannya tidak jauh berbeda
dengan buras yang ia coba
tadi. Afif membelah buras tersebut menjadi dua bagian dan hanya mencoba
sedikit. Trauma. Ia tak
ingin rasa hambar menyelinap di lidahnya untuk kedua kalinya.
“Gimana?”
Tanya Ibu
penasaran.
“Hmmmm!”
“Ya
gimana! Kok ‘hmm’ trus!“
Tanya Ibu yang seakan penasaran dengan apa yang Afif pikirkan.
“Hehe,
kok beda ya, Bu?
Ini lebih terasa santannya. Lebih enak! Legit lagi!”
“Mungkin
cara masaknya aja yang kurang tepat. Nih, liat cara dia membungkusnya.” Ibunya mengambil buras yang ada di
dandang untuk memperlihatkan cara si pembuat menutupi tubuh buras dengan daun pisang.
“Memang
burasnya
ditutup dengan dua lapis daun pisang. Sayangnya, si pembuatnya tidak menutupnya dengan
sempurna. Dua daunnya dilipat secara bersamaan, langsung, tanpa memperhatikan apakah
burasnya akan kemasukan air saat dimasak. Seharusnya, daun pertama dilipat
terlebih dahulu dengan baik. Lalu,
bungkus lagi dengan daun kedua dengan rapat.”
Afif
menganggukkan kepala.
“Mungkin
juga si pembuatnya
kurang memberi garam saat memasak santannya.”
“Ohh!”
“Kalau lihat cara membuat burasnya seperti
ini, Ibu ingin sekali memberikan penataran untuk si pembuat burasnya. Makanya, nanti cari
wanita yang pintar masak, Nak! Bukan cuma pintar makan apalagi pintar mengomentari.”
Afif
tersenyum mendengar celetukan
ibunya.
“Doakan aja ya, Bu! Hehe!”
“Insya
Allah Nak kamu diberikan yang terbaik.”
“Aaaamiiin!”
“Yaa
udah, kamu mau makan yang mana?”
“Buatan Ibu dong!”
“Yang jelas, jangan lupa cuci piring! Ibu kan udah
masak!”
“Pastilah, Bu!”
Pagi
itu pun menjadi penuh arti dengan percakapan anak dan ibu. Kenyangnya dapat,
ilmunya dapat, doanya pun dapat. Afif
berharap semoga Allah mengabulkan doa yang terucap dari bibir tulus wanita yang telah
membesarkannya selama dua puluh tahun itu.
Hahahahahah... kyk lucu ini postingan
BalasHapusmakasih rezky :)
Hapus@Ibnu: ternyata betul dugaanku, kalo kamu serius nulis pasti hasilkan tulisan yg bagus. Contohnya yah cerpen diatas ini.
BalasHapusKeren.
Sy hanya bs mengaminkan saja apa yg menjadi doa ibumu: "smoga kamu mendapatkan calon istri yg baik, tdk hanya pintar masak, tp jg yg bisa bimbing anak2 mu kelak menjadi anak2 soleha dan patuh sama kedua org tua (kaya ibnu) hehheheh..
Ok, brother, good luck untukmu.
hhe,,masih lama kak! amiin! insya Allah :D
Hapus