Selasa, 11 September 2012

Pintar Masak


“Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah lagi yang engkau dustakan?” (QS Rahman)

Matahari memancarkan sinar kehidupannya ke bumi menandakan pagi telah menampakkan dirinya. Pagi yang indah untuk disyukuri oleh setiap hamba-Nya. Masih diberikan hembusan nafas oleh sang Pencipta yang entah sudah berapa banyak dihirup secara gratis. Tidak seperti mereka yang terbaring di rumah sakit yang membutuhkan tabung oksigen dengan biaya ratusan ribu.
        Pagi itu, di depan laptop, Afif melanjutkan menulis naskah cerita bersambung yang sedang dalam proses perampungan. Di hari-hari terakhir, ia berharap dapat menyelesaikannya sebelum kembali memegang diktat tebal dan menghadapi kesibukan perkuliahan yang akan menghampiri dirinya setelah kurang lebih selama sebulan bersembunyi di balik selimut keliburan. Ia khawatir, tulisan yang rencananya akan ia ikutkan dalam lomba akan terlantar lantaran waktu yang padat dan tersita untuk dunia kampus.
Tak lama kemudian, Afif mendengar suara dengan nada setengah oktaf memanggil namanya dari luar kamarnya.
"Afif, nggak makan, Nak? Ada buras loh kesukaan kamu!"
Mendengar ibunya berkata seperti itu, perutnya pun mulai bernyanyi. Lapar. Meminta sang pemilik tubuh untuk mengisinya. Apalagi, Afif sekeluarga baru tiba dari penjelajahan kampung 1001 kuda, Jeneponto, tadi malam. Perjalanan yang panjang menyita waktu tubuhnya untuk menyeimbangkan fungsinya kembali. Afif bahkan tak sempat makan malam. Seketika itu, sistem saraf parasimpatis dalam tubuhnya mengirimkan sinyal ke pusat saliva di batang otak yang merangsang kelenjar saliva untuk mengeluarkan sekresinya. Tanpa sadar, Afif merasakan air liur keluar dari sudut mulutnya.
Afif mengarahkan pandangannya pada jam dinding. Pukul  08.19.
"Iya, tunggu, Bu!" Sahut Afif penuh semangat. Ia beranjak dari tempatnya untuk mencari sesuap nasi. Di ruang makan, tampak wanita separuh baya sedang mengatur kue untuk disajikan kepada tamu yang akan datang bersilaturahmi ke rumah. Masih dalam suasana lebaran.
“Nak, udah coba buras yang dikasih sama tante dari Jeneponto?”
“Belum. Memangnya kenapa, Bu?”
“Ya udah. Cobain dulu burasnya. Tuh ada dibelakang!
Saat melangkahkan kaki ke dapur, tampak beberapa tumpukan buras yang tersedia di dandang. Ada juga yang sudah dalam keadaan terbuka.
“Jangan pilih yang hitam, Nak!”
“Iya, Bu!
Setelah piring dan sendok siap, Afif mulai mengais-ngais buras. Mencari yang warnanya segar dan enak dipandang. Tak lama kemudian, ia pun menemukan satu yang mengkilat. Wah, enak nih! Apalagi dimakan dengan steak kuda! Batin Afif.
Afif pun mencobanya. Hmm, legit sih legit. Tapi kok rasanya hambar? Atau cuma perasaanku yaa? Pikirnya dengan kening yang sedikit dikerutkan.
“Ibu sudah cobain burasnya?"
“Iya, sudah Nak.”
“Bu! Memang Afif suka ngomentari masakan Ibu. Ini suer loh Bu! Nggak ada maksud Afif untuk menyinggung masakan Ibu. Tapi, burasnya kok agak hambar ya, Bu?”
Ibunya pun tersenyum renyah.
“Iya, Nak. Ibu juga rasa gitu kok. Makanya Ibu nggak ngasih tau supaya kamu coba sendiri! Tuh, coba kamu rasain buras yang di atas meja.”
Afif pun mengambil sepotong buras yang ada di meja. Penampakannya tidak jauh berbeda dengan buras yang ia coba tadi. Afif membelah buras tersebut menjadi dua bagian dan hanya mencoba sedikit. Trauma. Ia tak ingin rasa hambar menyelinap di lidahnya untuk kedua kalinya.
“Gimana?” Tanya Ibu penasaran.
“Hmmmm!
“Ya gimana! Kok ‘hmm’ trus!“ Tanya Ibu yang seakan penasaran dengan apa yang Afif pikirkan.
“Hehe, kok beda ya, Bu? Ini lebih terasa santannya. Lebih enak! Legit lagi!
“Mungkin cara masaknya aja yang kurang tepat. Nih, liat cara dia membungkusnya.” Ibunya mengambil buras yang ada di dandang untuk memperlihatkan cara si pembuat menutupi tubuh buras dengan daun pisang.
“Memang burasnya ditutup dengan dua lapis daun pisang. Sayangnya, si pembuatnya tidak menutupnya dengan sempurna. Dua daunnya dilipat secara bersamaan, langsung, tanpa memperhatikan apakah burasnya akan kemasukan air saat dimasak. Seharusnya, daun pertama dilipat terlebih dahulu dengan baik. Lalu, bungkus lagi dengan daun kedua dengan rapat.”
Afif menganggukkan kepala.
“Mungkin juga si pembuatnya kurang memberi garam saat memasak santannya.”
“Ohh!”
Kalau lihat cara membuat burasnya seperti ini, Ibu ingin sekali memberikan penataran untuk si pembuat burasnya. Makanya, nanti cari wanita yang pintar masak, Nak! Bukan cuma pintar makan apalagi pintar mengomentari.”
Afif tersenyum mendengar celetukan ibunya.
Doakan aja ya, Bu! Hehe!”
“Insya Allah Nak kamu diberikan yang terbaik.”
“Aaaamiiin!
“Yaa udah, kamu mau makan yang mana?”
Buatan Ibu dong!”
Yang jelas, jangan lupa cuci piring! Ibu kan udah masak!
Pastilah, Bu!
Pagi itu pun menjadi penuh arti dengan percakapan anak dan ibu. Kenyangnya dapat, ilmunya dapat, doanya pun dapat. Afif berharap semoga Allah mengabulkan doa yang terucap dari bibir tulus wanita yang telah membesarkannya selama dua puluh tahun itu.

4 komentar:

  1. Hahahahahah... kyk lucu ini postingan

    BalasHapus
  2. @Ibnu: ternyata betul dugaanku, kalo kamu serius nulis pasti hasilkan tulisan yg bagus. Contohnya yah cerpen diatas ini.

    Keren.

    Sy hanya bs mengaminkan saja apa yg menjadi doa ibumu: "smoga kamu mendapatkan calon istri yg baik, tdk hanya pintar masak, tp jg yg bisa bimbing anak2 mu kelak menjadi anak2 soleha dan patuh sama kedua org tua (kaya ibnu) hehheheh..

    Ok, brother, good luck untukmu.

    BalasHapus