Islam adalah agama yang ilmiah. Setiap amalan, keyakinan, atau
ajaran yang disandarkan kepada Islam harus memiliki dasar dari Al Qur’an dan
Hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yang otentik. Dengan ini, Islam tidak
memberi celah kepada orang-orang yang beritikad buruk untuk menyusupkan
pemikiran-pemikiran atau ajaran lain ke dalam ajaran Islam.
Karena pentingnya hal ini, tidak heran apabila Abdullah bin
Mubarak rahimahullah mengatakan perkataan yang terkenal:
الإسناد من الدين، ولولا الإسناد؛ لقال من شاء ما شاء
“Sanad adalah bagian dari agama. Jika tidak ada sanad, maka orang
akan berkata semaunya.” (Lihat
dalam Muqaddimah Shahih Muslim, Juz I, halaman 12)
Dengan adanya sanad, suatu perkataan tentang ajaran Islam dapat
ditelusuri asal-muasalnya.
Oleh karena itu, penting sekali bagi umat muslim untuk memilah
hadits-hadits, antara yang shahih dan yang dhaif, agar diketahui amalan mana
yang seharusnya diamalkan karena memang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi
wa sallam serta
amalan mana yang tidak perlu dihiraukan karena tidak pernah diajarkan oleh
beliau.
Berkaitan dengan bulan Ramadhan yang penuh berkah ini, akan kami
sampaikan beberapa hadits lemah dan palsu mengenai puasa yang banyak tersebar
di masyarakat. Untuk memudahkan pembaca, kami tidak menjelaskan sisi kelemahan
hadits, namun hanya akan menyebutkan kesimpulan para pakar hadits yang
menelitinya. Pembaca yang ingin menelusuri sisi kelemahan hadits, dapat merujuk
pada kitab para ulama yang bersangkutan.
Hadits 1
صوموا تصحوا
“Berpuasalah, kalian akan sehat.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim di Ath Thibbun Nabawi
sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz Al Iraqi di Takhrijul
Ihya (3/108), oleh
Ath Thabrani di Al Ausath (2/225), oleh Ibnu ‘Adi dalam Al
Kamil Fid Dhu’afa (3/227).
Hadits ini dhaif (lemah), sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz
Al Iraqi di Takhrijul Ihya (3/108), juga Al Albani di Silsilah
Adh Dha’ifah (253).
Bahkan Ash Shaghani agak berlebihan mengatakan hadits ini maudhu (palsu) dalam Maudhu’at
Ash Shaghani (51).
Keterangan: jika memang terdapat penelitian ilmiah dari para
ahli medis bahwa puasa itu dapat menyehatkan tubuh, makna dari hadits dhaif ini
benar, namun tetap tidak boleh dianggap sebagai sabda Nabi shallallahu’alaihi
wa sallam.
Hadits 2
نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ ، وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ ، وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ ، وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ
“Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah, diamnya adalah
tasbih, do’anya dikabulkan, dan amalannya pun akan dilipatgandakan pahalanya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi di Syu’abul
Iman (3/1437).
Hadits ini dhaif, sebagaimana dikatakan Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul
Ihya (1/310). Al
Albani juga mendhaifkan hadits ini dalam Silsilah Adh Dha’ifah (4696).
Terdapat juga riwayat yang lain:
الصائم في عبادة و إن كان راقدا على فراشه
“Orang yang berpuasa itu senantiasa dalam ibadah meskipun sedang
tidur di atas ranjangnya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Tammam (18/172). Hadits ini juga
dhaif, sebagaimana dikatakan oleh Al Albani di Silsilah
Adh Dhaifah (653).
Yang benar, tidur adalah perkara mubah (boleh) dan bukan ritual
ibadah. Maka, sebagaimana perkara mubah yang lain, tidur dapat bernilai ibadah
jika diniatkan sebagai sarana penunjang ibadah. Misalnya, seseorang tidur
karena khawatir tergoda untuk berbuka sebelum waktunya, atau tidur untuk
mengistirahatkan tubuh agar kuat dalam beribadah.
Sebaliknya, tidak setiap tidur orang berpuasa itu bernilai
ibadah. Sebagai contoh, tidur karena malas, atau tidur karena kekenyangan
setelah sahur. Keduanya, tentu tidak bernilai ibadah, bahkan bisa dinilai
sebagai tidur yang tercela. Maka, hendaknya seseorang menjadikan bulan ramadhan sebagai
kesempatan baik untuk memperbanyak amal kebaikan, bukan bermalas-malasan.
Hadits 3
يا أيها الناس قد أظلكم شهر عظيم ، شهر فيه ليلة خير من ألف شهر ، جعل الله صيامه فريضة ، و قيام ليله تطوعا ، و من تقرب فيه بخصلة من الخير كان كمن أدى فريضة فيما سواه ، و من أدى فريضة كان كمن أدى سبعين فريضة فيما سواه ، و هو شهر الصبر و الصبر ثوابه الجنة ، و شهر المواساة ، و شهر يزاد فيه رزق المؤمن ، و من فطر فيه صائما كان مغفرة لذنوبه ، و عتق رقبته من النار ، و كان له مثل أجره من غير أن ينتقص من أجره شيء قالوا : يا رسول الله ليس كلنا يجد ما يفطر الصائم ، قال : يعطي الله هذا الثواب من فطر صائما على مذقة لبن ، أو تمرة ، أو شربة من ماء ، و من أشبع صائما سقاه الله من الحوض شربة لايظمأ حتى يدخل الجنة ، و هو شهر أوله رحمة و وسطه مغفرة و آخره عتق من النار ،
“Wahai manusia, bulan yang agung telah mendatangi kalian. Di
dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari 1. 000 bulan. Allah
menjadikan puasa pada siang harinya sebagai sebuah kewajiban, dan menghidupkan
malamnya sebagai ibadah tathawwu’ (sunnah). Barangsiapa pada bulan itu
mendekatkan diri (kepada Allah) dengan satu kebaikan, ia seolah-olah
mengerjakan satu ibadah wajib pada bulan yang lain. Barangsiapa mengerjakan
satu perbuatan wajib, ia seolah-olah mengerjakan 70 kebaikan di bulan yang
lain. Ramadhan adalah bulan kesabaran, sedangkan kesabaran itu balasannya
adalah surga. Ia (juga) bulan tolong-menolong. Di dalamnya rezki seorang mukmin
ditambah. Barangsiapa pada bulan Ramadhan memberikan hidangan berbuka kepada
seorang yang berpuasa, dosa-dosanya akan diampuni, diselamatkan dari api neraka
dan memperoleh pahala seperti orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi pahala
orang yang berpuasa tadi sedikitpun” Kemudian para sahabat berkata, “Wahai
Rasulullah, tidak semua dari kita memiliki makanan untuk diberikan kepada orang
yang berpuasa.” Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berkata, “Allah
memberikan pahala tersebut kepada orang yang memberikan hidangan berbuka berupa
sebutir kurma, atau satu teguk air atau sedikit susu. Ramadhan adalah bulan
yang permulaannya rahmat, pertengahannya maghfirah (ampunan) dan akhirnya
pembebasan dari api neraka.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (1887), oleh Al
Mahamili dalam Amaliyyah (293), Ibnu ‘Adi dalam Al
Kamil Fid Dhu’afa (6/512),
Al Mundziri dalam Targhib Wat Tarhib (2/115)
Hadits ini didhaifkan oleh para pakar hadits seperti Al Mundziri
dalam At Targhib Wat Tarhib (2/115), juga didhaifkan oleh Syaikh
Ali Hasan Al Halabi di Sifatu Shaumin Nabiy (110), bahkan dikatakan oleh Abu Hatim
Ar Razi dalam Al ‘Ilal (2/50) juga Al Albani dalam Silsilah
Adh Dhaifah (871)
bahwa hadits ini Munkar.
Yang benar, di seluruh waktu di bulan Ramadhan terdapat rahmah,
seluruhnya terdapat ampunan Allah dan seluruhnya terdapat kesempatan bagi
seorang mukmin untuk terbebas dari api neraka, tidak hanya sepertiganya. Salah
satu dalil yang menunjukkan hal ini adalah:
من صام رمضان إيمانا واحتسابا ، غفر له ما تقدم من ذنبه
“Orang yang puasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, akan
diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari no.38, Muslim, no.760)
Dalam hadits ini, disebutkan bahwa ampunan Allah tidak dibatasi
hanya pada pertengahan Ramadhan saja. Lebih jelas lagi pada hadits yang
diriwayatkan oleh At Tirmidzi, Rasulullah bersabda:
إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ، وَمَرَدَةُ الجِنِّ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ، فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ، وَفُتِّحَتْ أَبْوَابُ الجَنَّةِ، فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ، وَيُنَادِي مُنَادٍ: يَا بَاغِيَ الخَيْرِ أَقْبِلْ، وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ، وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنَ النَّارِ، وَذَلكَ كُلُّ لَيْلَةٍ
“Pada awal
malam bulan Ramadhan, setan-setan dan jin-jin jahat dibelenggu, pintu
neraka ditutup, tidak ada satu pintu pun yang dibuka. Pintu surga dibuka, tidak
ada satu pintu pun yang ditutup. Kemudian Allah menyeru: ‘wahai penggemar
kebaikan, rauplah sebanyak mungkin, wahai penggemar keburukan, tahanlah
dirimu’. Allah pun memberikan pembebasan dari neraka bagi hamba-Nya. Dan itu terjadi setiap malam”
(HR. Tirmidzi 682, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih
At Tirmidzi)
Adapun mengenai apa yang diyakini oleh sebagian orang, bahwa setiap
amalan sunnah kebaikan di bulan Ramadhan diganjar pahala sebagaimana amalan
wajib, dan amalan wajib diganjar dengan 70 kali lipat pahala ibadah wajib
diluar bulan Ramadhan, keyakinan ini tidaklah benar berdasarkan hadits
yang lemah ini. Walaupun keyakinan ini tidak benar, sesungguhnya Allah ta’ala melipatgandakan
pahala amalan kebaikan berlipat ganda banyaknya, terutama ibadah puasa di bulan
Ramadhan.
Hadits 4
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال : اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت فتقبل مني إنك أنت السميع العليم
“Biasanya Rasulullah shallallahu’alaihi
wa sallam ketika
berbuka membaca doa: Allahumma laka shumtu wa ‘alaa rizqika afthartu fataqabbal
minni, innaka antas samii’ul ‘aliim.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya
(2358), Adz Dzahabi dalam Al Muhadzab (4/1616), Ibnu Katsir dalam Irsyadul
Faqih (289/1), Ibnul
Mulaqqin dalam Badrul Munir (5/710)
Ibnu Hajar Al Asqalani berkata di Al
Futuhat Ar Rabbaniyyah (4/341)
: “Hadits ini gharib, dan sanadnya lemah sekali”. Hadits ini juga didhaifkan
oleh Asy Syaukani dalam Nailul Authar (4/301), juga oleh Al Albani di Dhaif
Al Jami’ (4350). Dan
doa dengan lafadz yang semisal, semua berkisar antara hadits lemah dan munkar.
Sedangkan doa berbuka puasa yang tersebar dimasyarakat dengan
lafadz:
اللهم لك صمت و بك امنت و على رزقك افطرت برحمتك يا ارحم الراحمين
“Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, kepada-Mu aku beriman, atas
rezeki-Mu aku berbuka, aku memohon Rahmat-Mu wahai Dzat yang Maha Penyayang.”
Hadits ini tidak terdapat di kitab hadits manapun. Atau dengan
kata lain, ini adalah hadits palsu. Sebagaimana dikatakan oleh Al Mulla Ali Al
Qaari dalam kitab Mirqatul Mafatih Syarh
Misykatul Mashabih: “Adapun doa yang tersebar di masyarakat dengan
tambahan ‘wabika aamantu’ sama sekali tidak ada asalnya, walau
secara makna memang benar.”
Yang benar, doa berbuka puasa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi
wa sallam terdapat
dalam hadits:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله
“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika berbuka
puasa membaca doa:
ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله
/Dzahabaz zhamaa-u wabtalatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insyaa
Allah/
(‘Rasa haus telah hilang, kerongkongan telah basah, semoga
pahala didapatkan. Insya Allah’)”
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud (2357), Ad Daruquthni
(2/401), dan dihasankan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur
Ruwah, 2/232 juga oleh Al Albani di Shahih
Sunan Abi Daud.
Hadits 5
من أفطر يوما من رمضان من غير رخصة لم يقضه وإن صام الدهر كله
“Orang yang sengaja tidak berpuasa pada suatu hari di bulan
Ramadhan, padahal ia bukan orang yang diberi keringanan, ia tidak akan dapat
mengganti puasanya meski berpuasa terus menerus.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari di Al’Ilal
Al Kabir (116), oleh
Abu Daud di Sunannya (2396), oleh Tirmidzi di Sunan-nya (723),
Imam Ahmad di Al Mughni (4/367), Ad Daruquthni di Sunan-nya
(2/441, 2/413), dan Al Baihaqi di Sunan-nya (4/228).
Hadits ini didhaifkan oleh Al Bukhari, Imam Ahmad, Ibnu Hazm di Al
Muhalla (6/183), Al
Baihaqi, Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid (7/173), juga oleh Al Albani di Dhaif
At Tirmidzi (723), Dhaif
Abi Daud (2396), Dhaif
Al Jami’ (5462) dan Silsilah
Adh Dha’ifah (4557).
Namun, memang sebagian ulama ada yang menshahihkan hadits ini seperti Abu Hatim
Ar Razi di Al Ilal (2/17), juga ada yang menghasankan
seperti Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur Ruwah (2/329) dan Al Haitsami di Majma’
Az Zawaid (3/171).
Oleh karena itu, ulama berbeda pendapat mengenai ada-tidaknya qadha bagi orang
yang sengaja tidak berpuasa.
Yang benar -wal ‘ilmu ‘indallah- adalah penjelasan Lajnah
Daimah Lil Buhuts Wal Ifta (Komisi Fatwa Saudi Arabia), yang menyatakan bahwa
“Seseorang yang sengaja tidak berpuasa tanpa udzur syar’i,ia harus bertaubat
kepada Allah dan mengganti puasa yang telah ditinggalkannya.” (Periksa: Fatawa
Lajnah Daimah no. 16480, 9/191)
Hadits 6
لا تقولوا رمضان فإن رمضان اسم من أسماء الله تعالى ولكن قولوا شهر رمضان
“Jangan menyebut dengan ‘Ramadhan’ karena ia adalah salah satu
nama Allah, namun sebutlah dengan ‘Bulan Ramadhan.’”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Sunan-nya
(4/201), Adz Dzaahabi dalam Mizanul I’tidal (4/247), Ibnu ‘Adi dalam Al
Kamil Fid Dhu’afa (8/313),
Ibnu Katsir di Tafsir-nya
(1/310).
Ibnul Jauzi dalam Al Maudhuat (2/545) mengatakan hadits ini
palsu. Namun, yang benar adalah sebagaimana yang dikatakan oleh As Suyuthi
dalam An Nukat ‘alal Maudhuat (41) bahwa “Hadits ini dhaif, bukan
palsu”. Hadits ini juga didhaifkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al
Kamil Fid Dhu’afa (8/313),
An Nawawi dalam Al Adzkar (475), oleh Ibnu Hajar Al Asqalani
dalam Fathul Baari (4/135)
dan Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (6768).
Yang benar adalah boleh mengatakan ‘Ramadhan’ saja, sebagaimana
pendapat jumhur ulama karena banyak hadits yang menyebutkan ‘Ramadhan’ tanpa
‘Syahru (bulan)’.
Hadits 7
أن شهر رمضان متعلق بين السماء والأرض لا يرفع إلا بزكاة الفطر
“Bulan Ramadhan bergantung di antara langit dan bumi. Tidak ada
yang dapat mengangkatnya kecuali zakat fithri.”
Hadits ini disebutkan oleh Al Mundziri di At
Targhib Wat Tarhib (2/157). Al Albani mendhaifkan hadits ini dalam Dhaif
At Targhib (664), dan Silsilah
Ahadits Dhaifah (43).
Yang benar, jika dari hadits ini terdapat orang yang meyakini
bahwa puasa Ramadhan tidak diterima jika belum membayar zakat fithri,
keyakinan ini salah, karena haditsnya dhaif. Zakat fithri bukanlah syarat sah
puasa Ramadhan, namun jika seseorang meninggalkannya ia mendapat dosa
tersendiri.
Hadits 8
رجب شهر الله ، وشعبان شهري ، ورمضان شهر أمتي
“Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan
adalah bulan umatku.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Adz Dzahabi di Tartibul
Maudhu’at (162, 183),
Ibnu Asakir di Mu’jam Asy Syuyukh (1/186).
Hadits ini didhaifkan oleh di Asy Syaukani di Nailul
Authar (4/334),
dan Al Albani di Silsilah Adh Dhaifah (4400). Bahkan hadits ini dikatakan
hadits palsu oleh banyak ulama seperti Adz Dzahabi di Tartibul
Maudhu’at (162, 183),
Ash Shaghani dalam Al Maudhu’at (72), Ibnul Qayyim dalam Al
Manaarul Munif (76),
Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Tabyinul Ujab (20).
Hadits 9
من فطر صائما على طعام وشراب من حلال صلت عليه الملائكة في ساعات شهر رمضان وصلى عليه جبرائيل ليلة القدر
“Barangsiapa memberi hidangan berbuka puasa dengan makanan dan
minuman yang halal, para malaikat bershalawat kepadanya selama bulan Ramadhan dan Jibril bershalawat
kepadanya di malam lailatul qadar.”
Hadist ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Al
Majruhin (1/300), Al Baihaqi di Syu’abul
Iman (3/1441), Ibnu
‘Adi dalam Al Kamil Adh Dhuafa (3/318), Al Mundziri dalam At
Targhib Wat Tarhib (1/152)
Hadits ini didhaifkan oleh Ibnul Jauzi di Al
Maudhuat (2/555), As
Sakhawi dalam Maqasidul Hasanah (495), Al Albani dalam Dhaif
At Targhib (654)
Yang benar,orang yang memberikan hidangan berbuka puasa akan
mendapatkan pahala puasa orang yang diberi hidangan tadi, berdasarkan hadits:
من فطر صائما كان له مثل أجره ، غير أنه لا ينقص من أجر الصائم شيئا
“Siapa saja yang memberikan hidangan berbuka puasa kepada orang
lain yang berpuasa, ia akan mendapatkan pahala orang tersebut tanpa sedikitpun
mengurangi pahalanya.” (HR.
At Tirmidzi no 807, ia berkata: “Hasan shahih”)
Hadits 10
رجعنا من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر . قالوا : وما الجهاد الأكبر ؟ قال : جهاد القلب
“Kita telah kembali dari jihad yang kecil menuju jihad yang
besar.” Para sahabat bertanya: “Apakah jihad yang besar itu?” Beliau bersabda:
“Jihadnya hati melawan hawa nafsu.”
Menurut Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul
Ihya (2/6) hadits ini
diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Az Zuhd. Ibnu Hajar
Al Asqalani dalam Takhrijul Kasyaf (4/114) juga mengatakan hadits ini
diriwayatkan oleh An Nasa’i dalam Al Kuna.
Hadits ini adalah hadits palsu. Sebagaimana dikatakan oleh
Syaikhul Islam di Majmu Fatawa (11/197), juga oleh Al Mulla Ali Al
Qari dalam Al Asrar Al Marfu’ah (211). Al Albani dalam Silsilah
Adh Dhaifah (2460)
mengatakan hadits ini Munkar.
Hadits ini sering dibawakan para khatib dan dikaitkan dengan Ramadhan,
yaitu untuk mengatakan bahwa jihad melawan hawa nafsu di bulan Ramadhan lebih
utama dari jihad berperang di jalan Allah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
berkata, “Hadits ini tidak ada asalnya. Tidak ada seorang pun ulama hadits yang
berangapan seperti ini, baik dari perkataan maupun perbuatan Nabi. Selain itu
jihad melawan orang kafir adalah amal yang paling mulia. Bahkan jihad yang
tidak wajib pun merupakan amalan sunnah yang
paling dianjurkan.” (Majmu’
Fatawa, 11/197). Artinya, makna dari hadits palsu ini pun tidak
benar karena jihad berperang
di jalan Allah adalah amalan yang paling mulia. Selain itu, orang yang terjun
berperang di jalan Allah tentunya telah berhasil mengalahkan hawa nafsunya
untuk meninggalkan dunia dan orang-orang yang ia sayangi.
Hadits 11
قال وائلة : لقيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم عيد فقلت : تقبل الله منا ومنك ، قال : نعم تقبل الله منا ومنك
“Wa’ilah berkata, “Aku bertemu dengan Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam pada hari Ied, lalu aku berkata: Taqabbalallahu
minna wa minka.” Beliau bersabda: “Ya, Taqabbalallahu minna wa minka.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Al
Majruhin (2/319), Al
Baihaqi dalam Sunan-nya (3/319),
Adz Dzahabi dalam Al Muhadzab (3/1246)
Hadits ini didhaifkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al
Kamil Fid Dhuafa (7/524),
oleh Ibnu Qaisirani dalam Dzakiratul Huffadz (4/1950), oleh Al Albani dalam Silsilah
Adh Dhaifah (5666).
Yang benar, ucapan ‘Taqabbalallahu Minna Wa Minka’ diucapkan sebagian sahabat
berdasarkan sebuah riwayat:
كان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا التقوا يوم العيد يقول بعضهم لبعض : تقبل الله منا ومنك
Artinya:
“Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya ketika saling berjumpa di hari Ied mereka mengucapkan: Taqabbalallahu Minna Wa Minka (Semoga Allah menerima amal ibadah saya dan amal ibadah Anda)”
“Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya ketika saling berjumpa di hari Ied mereka mengucapkan: Taqabbalallahu Minna Wa Minka (Semoga Allah menerima amal ibadah saya dan amal ibadah Anda)”
Atsar ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Al
Mughni (3/294),
dishahihkan oleh Al Albani dalam Tamamul Minnah (354). Oleh karena itu, boleh
mengamalkan ucapan ini, asalkan tidak diyakini sebagai hadits Nabi shallallahu’alaihi
wa sallam.
Hadits 12
خمس تفطر الصائم ، وتنقض الوضوء : الكذب ، والغيبة ، والنميمة ، والنظر بالشهوة ، واليمين الفاجرة
“Lima hal yang membatalkan puasa dan membatalkan wudhu: berbohong,
ghibah, namimah, melihat lawan jenis dengan syahwat, dan bersumpah palsu.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al Jauraqani di Al
Abathil (1/351), oleh
Ibnul Jauzi di Al Maudhu’at (1131)
Hadits ini adalah hadits palsu,
sebagaimana dijelaskan Ibnul Jauzi di Al Maudhu’at (1131), Al Albani dalam Silsilah
Adh Dhaifah (1708).
Yang benar, lima hal tersebut bukanlah pembatal puasa, namun
pembatal pahala puasa. Sebagaimana hadits:
من لم يدع قول الزور والعمل به والجهل ، فليس لله حاجة أن يدع طعامه وشرابه
“Orang yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan
mengamalkannya, serta mengganggu orang lain, maka Allah tidak butuh terhadap
puasanya.” (HR. Bukhari, no.6057)
Demikian, semoga Allah memberi kita taufiq untuk senantiasa
berpegang teguh pada ajaran Islam yang sahih. Mudah-mudahan Allah melimpahkan
rahmat dan ampunannya kepada kita di bulan mulia ini. Semoga amal-ibadah di
bulan suci ini kita berbuah pahala di sisi Rabbuna Jalla
Sya’nuhu.
وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
Tidak ada komentar:
Posting Komentar