“Pak!
Mohon pinjamkan saya uang sekali lagi, Pak! Saya janji bakal bayar utang-utang
saya ke Bapak bulan depan.”
“APA??
BULAN DEPAN?? Ehh, tau nggak berapa kali kamu mengutang? Utang kamu sudah
menumpuk tahu! Bunganya aja belum
kamu cicil. Sekarang minta pinjaman lagi. TIDAK!”
“Tapi,
Pak...”
Plak!
Sejurus
tendangan dari sang bodyguard
berbadan kekar mendarat di pipi sang lelaki peminjam uang yang sedari tadi
mengemis di kaki juragan besar itu.
“Udah! Tidak ada lagi ‘tapi-tapi’. Kamu
pergi sekarang! Tinggalkan rumah saya! Dan ingat, satu minggu lagi saya akan
mencarimu. Dan uang saya sudah harus ada bersama bunga-bunganya. Kalau tidak
... sreeeett!” Sang juragan
menggunakan ibu jarinya dan melingkarinya setengah putaran di leher depan. “Akan aku gantung kau bersama keluarga
tercintamu itu.”
“Tolong,
Pak! Jangan ...” Sang lelaki peminjam uang tetap tak bergeming dan berusaha
kembali memegang kaki sang jurangan.
“Pengawal
bawa dia keluar!”
“Pak,
tolong, Pak!” Dua bodyguard berbadan kekar menyeret
sang lelaki peminjam uang keluar dari rumah sang juragan.
Bismillah.
Semoga
Allah SWT masih memberikan rahmat-Nya bagi kita semua.
Cerita
di atas, kerap kali kita lihat di sinetron-sinetron. Tapi tak sedikit pula
kejadian itu terjadi di sekitar kita. Walaupun tak se-sangar cerita di atas. Mungkin bagi kita yang bercukupan, kejadian ini
amat jarang kita hadapi. Tetapi tetap, sebagai muslim yang baik, kita tetap perlu
untuk mengetahui. Menuntut ilmu agama kan wajib? J
Karena
tak menutup kemungkinan suatu hari nanti kita akan meminjam uang kepada orang
lain walaupun hanya dalam nominal yang kecil. Dan tentu saja, menyampaikan
kepada orang lain (baca: dakwah) adalah hal yang lebih utama.
Kali
ini, kami hanya sebagai “pemanjang tangan” (bukan pencuri. Hehe!) dalam
memberikan informasi mengenai hukum utang piutang sekaligus mengenai adab-adab
yang perlu diperhatikan. Karena kami pun masih penuntut ilmu, maka apa yang
kami paparkan di bawah dikutip dari berbagai sumber. Semoga dengan hal tersebut
bisa mendatangkan pahala bagi kita semua. Minimal pahala dari menuntut ilmu. Aaamiin!
Di
dalam kehidupan sehari-hari ini, kebanyakan manusia tidak terlepas dari yang
namanya hutang piutang. Sebab di antara mereka ada yang membutuhkan dan ada
pula yang dibutuhkan. Demikianlah keadaan manusia sebagaimana Allah tetapkan,
ada yang dilapangkan rezekinya hingga berlimpah ruah dan ada pula yang
dipersempit rezekinya, tidak dapat mencukupi kebutuhan pokoknya sehingga
mendorongnya dengan terpaksa untuk berhutang atau mencari pinjaman dari
orang-orang yang dipandang mampu dan bersedia memberinya pinjaman.
Dalam
ajaran Islam, utang-piutang adalah muamalah yang dibolehkan, tapi diharuskan
untuk ekstra hati-hati dalam menerapkannya. Karena utang bisa mengantarkan
seseorang ke dalam surga, dan sebaliknya juga menjerumuskan seseorang ke dalam
neraka.
PENGERTIAN UTANG PIUTANG
Di
dalam fiqih Islam, hutang piutang atau pinjam meminjam telah dikenal dengan
istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah Al-Qath’u yang berarti memotong. Harta yang
diserahkan kepada orang yang berhutang disebut Al-Qardh, karena merupakan potongan dari harta orang
yang memberikan hutang. (Lihat Fiqh
Muamalat (2/11),
karya Wahbah Zuhaili)
Sedangkan
secara terminologis (istilah syar’i), makna Al-Qardh ialah menyerahkan harta (uang)
sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja yang akan memanfaatkannya dan dia
akan mengembalikannya (pada suatu saat) sesuai dengan padanannya. (Lihat Muntaha Al-Iradat (I/197). Dikutip dari Mauqif Asy-Syari’ah Min Al-Masharif Al-Islamiyyah Al-Mu’ashirah, karya
DR. Abdullah Abdurrahim Al-Abbadi, hal.29).
Atau
dengan kata lain, utang Piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak
milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari
sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Jika peminjam diberi pinjaman Rp.
1.000.000,00 (satu juta rupiah) maka di masa depan si peminjam akan mengembalikan
uang sejumlah satu juta juga.
HUKUM UTANG PIUTANG
Hukum
utang piutang pada asalnya diperbolehkan dalam syariat Islam. Bahkan orang yang
memberikan utang atau pinjaman kepada orang lain yang sangat membutuhkan adalah
hal yang disukai dan dianjurkan, karena di dalamnya terdapat pahala yang besar.
Adapun dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya hutang piutang ialah
sebagaimana berikut ini:
Dalil
dari Al-Qur’an adalah firman Allah SWT: “Siapakah
yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan
hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran
kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan
melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)
Sedangkan
dalil dari Al-Hadits adalah apa yang diriwayatkan dari Abu Rafi’, bahwa Nabi
SAW pernah meminjam seekor unta kepada seorang lelaki. Lalu, lelaki itu datang
menemui beliau membawa seekor unta dari sedekah. Beliau menyuruh Abu Rafi’
untuk mengembalikan unta milik lelaki tersebut. Abu Rafi’ kembali kepada beliau
dan berkata, “Wahai Rasulullah! Yang kudapatkan hanyalah seekor unta ruba’i
terbaik?” Beliau bersabda, “Berikan saja kepadanya.
Sesungguhnya orang yang terbaik adalah yang paling baik dalam mengembalikan
hutang.”(HR.
Bukhari dalam Kitab Al-Istiqradh, baba istiqradh Al-Ibil(no.2390),
dan Muslim dalam kitab Al-musaqah, bab Man Istaslafa
Syai-an Fa Qadha Khairan Minhu (no.1600)
Nabi
SAW juga bersabda: “Setiap muslim yang memberikan
pinjaman kepada sesamanya dua kali, maka dia itu seperti orang yang bersedekah
satu kali.” (Hadits ini di-hasan-kan oleh Al-Albani di dalam Irwa’
Al-ghalil Fi Takhrij Ahadits manar As-sabil (no.1389).
Adapun
hukum berutang atau meminta pinjaman adalah diperbolehkan, dan bukanlah sesuatu
yang dicela atau dibenci, karena Nabi SAW pernah berhutang. (HR. Bukhari IV/608
(no.2305), dan Muslim VI/38 (no.4086)).
Meskipun
berutang atau meminta pinjaman itu diperbolehkan dalam syariat Islam, Islam menyuruh
umatnya agar menghindari utang semaksimal mungkin jika ia mampu membeli dengan
tunai atau tidak dalam keadaan kesempitan ekonomi. Karena utang, menurut Nabi
SAW, merupakan penyebab kesedihan di malam hari dan kehinaan di siang hari. Hutang juga dapat membahayakan akhlaq, sebagaimana sabda
Rasulullah SAW:
“Sesungguhnya seseorang apabila berhutang, maka dia sering berkata lantas
berdusta, dan berjanji lantas memungkiri.” (HR.
Bukhari).
Nabi
SAW pernah menolak menshalatkan jenazah seseorang yang diketahui masih
meninggalkan utang dan tidak meninggalkan harta untuk membayarnya. Nabi SAW bersabda:
“Akan diampuni orang yang mati syahid semua
dosanya, kecuali utangnya.”
(HR. Muslim).
Bagaimana
Islam mengatur berhutang-piutang yang membawa pelakunya ke surga dan
menghindarkan dari api neraka? Perhatikanlah adab-adabnya di bawah ini:
BEBERAPA ADAB ISLAMI DALAM UTANG
PIUTANG:
[1]. Utang piutang harus
ditulis dan dipersaksikan.
Dalilnya
firman Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan
hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang ditulis itu), dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi
sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya
atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka
hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tidak ada dua orang
lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi
yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.
Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil,
dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai
batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih
dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan)
keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan
tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika)
kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli ; dan
janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang
demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan
bertakwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu ; dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu”. (QS. Al-Baqarah: 282)
Berkaitan
dengan ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
“ini merupakan petunjuk dari-Nya untuk hamba-Nya yang mukmin. Jika mereka
bermu’amalah dengan transaksi non tunai, hendaklah ditulis, agar lebih terjaga
jumlahnya dan waktunya dan lebih menguatkan saksi. Dan di ayat lain, Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan salah satu ayat : “Hal itu lebih adil di
sisi Allah dan memperkuat persaksian dan agar tidak mendatangkan keraguan”.
(Lihat Tafsir Al-Quran Al-Azhim, III/316).
[2]. Pemberi utang atau
pinjaman tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari orang yang
berhutang.
Kaidah
fikih berbunyi : “Setiap utang yang membawa
keuntungan, maka hukumnya riba”. Hal ini terjadi jika salah
satunya mensyaratkan atau menjanjikan penambahan. Dengan kata lain, bahwa
pinjaman yang berbunga atau mendatangkan manfaat apapun adalah haram
berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ para
ulama. Keharaman itu meliputi segala macam bunga atau manfaat yang dijadikan
syarat oleh orang yang memberikan pinjaman kepada si peminjam. Karena tujuan
dari pemberi pinjaman adalah mengasihi si peminjam dan menolongnya. Tujuannya
bukan mencari kompensasi atau keuntungan (Lihat Al-Fatawa Al-Kubra III/146,147).
(Sedikit
pembahasan mengenai Riba’) Riba’ secara bahasa berarti ziadah/ tambahan. Riba’ secara
Syariat adalah penyerahan pergantian sesuatu dengan sesuatu yang lain yang
tidak dapat terlihat wujud kesetaraannya menurut timbangan Syara’ ketika Aqad,
atau disertai kelebihan pada akhir proses tukar menukar, atau hanya salah
satunya.
Secara
garis besar RIBA’ dikelompokkan menjadi dua. Yaitu RIBA’ utang-piutang dan
RIBA’ jual-beli. RIBA’ utang-piutang terbagi lagi menjadi RIBA’ Qardh dan RIBA’ Jahiliyyah. Sedangkan RIBA’ jual-beli terbagi atas RIBA’ Fadhl dan RIBA’ Nasi’ah.
RIBA’ Qardh: Suatu
manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang
berhutang (muqtaridh). Contoh RIBA’ Qardh, jika
si A mengajukan utang sebesar Rp 50.000.000,- kepada si B dengan batas waktu
satu tahun. Sejak awal dari kedua belah pihak sudah menyepakati bahwa si A
wajib mengembalikan utang ditambah bunga 15%, maka tambahan 15% tersebut
merupakan RIBA’ yang dilaknat.
RIBA’ Jahiliyyah: Utang
dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar utangnya
pada waktu yang ditetapkan. Hal ini juga disebut RIBA’ Duyun (utang). Contoh, jika kedua belah pihak
menyepakati ketentuan apabila pihak yang berutang mengembalikan utangnya tepat
waktu, maka yang berutang tidak dikenai tambahan, namun jika dia tidak mampu
mengembalikan utangnya tepat waktu, maka batas waktunya diperpanjang dan
dikenakan tambahan atau denda atas utangnya tersebut. Inilah yang secara khusus
disebut RIBA’ Jahiliyyah, meski asalnya merupakan transaksi Qardh
(utang-piutang).
RIBA’ Fadhl: Pertukaran
antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang
yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang RIBAWI. Yang disebut
barang RIBAWI sudah ditetapkan dalam syari’at, seperti emas, perak, gandum,
sya’ir (sejenis gandum), kurma dan garam. Setiap pertukaran sejenis dari
ke-enam barang RIBAWI tersebut, maka terdapat dua ketentuan yang harus
dipenuhi, pertama takaran atau timbangan keduanya harus sama. Misal, tidak boleh menukar perhiasan kalung
emas seberat 20 gram dengan perhiasan delang emas seberat 10 gram, sekalipun
nilai seni dari perhiasan tersebut dua kali lipat lebih tinggi dari nilai
kalungnya. Begitu juga tidak boleh menukar 20 kg kurma kualitas jelek dengan 10
kg kurma kualitas bagus, karena pertukaran kurma dengan kurma harus sama
takarannya atau setimbang. Jika tidak, maka telah terjadi praktik RIBA’, yang
merupakan RIBA’ Fadhl. Selain harus sama, pertukaran sejenis dari
barang-barang RIBAWI harus dilaksanakan dengan kontan. Jika salah satu pihak
tidak menyerahkan barang secara kontan, walaupun timbangan dan takarannya sama,
maka hukumnya HARAM, dan praktek ini tergolong RIBA’ Nasi’ah.
RIBA’ Nasi’ah: Penangguhan
penyerahan atau penerimaan jenis barang RIBAWI yang dipertukarkan dengan jenis
barang RIBAWI lainnya. RIBA’ dalam Nasi’ah muncul karena adanya perbedaan,
perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan
kemudian.
Dengan
dasar itu, berarti pinjaman berbunga yang diterapkan oleh bank-bank maupun
rentenir di masa sekarang ini jelas-jelas merupakan riba yang diharamkan oleh
Allah dan Rasul-Nya. sehingga bisa terkena ancaman keras baik di dunia maupun
di akhirat dari Allah ta’ala. Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafizhahullah- berkata : “Hendaklah diketahui,
tambahan yang terlarang untuk mengambilnya dalam hutang adalah tambahan yang
disyaratkan. (Misalnya), seperti seseorang mengatakan “saya beri anda utang
dengan syarat dikembalikan dengan tambahan sekian dan sekian, atau dengan
syarat anda berikan rumah atau tokomu, atau anda hadiahkan kepadaku sesuatu”.
Atau juga dengan tidak dilafadzkan, akan tetapi ada keinginan untuk ditambah
atau mengharapkan tambahan, inilah yang terlarang, adapun jika yang berhutang
menambahnya atas kemauan sendiri, atau karena dorongan darinya tanpa syarat
dari yang berhutang ataupun berharap, maka tatkala itu, tidak terlarang
mengambil tambahan. (Lihat Al-Mulakhkhash
Al-Fiqhi, Shalih Al-Fauzan, II/51).
[3]. Kebaikan sepantasnya
dibalas dengan kebaikan
Dari
Abu Hurairah r.a, ia berkata: “Nabi mempunyai hutang kepada seseorang, (yaitu)
seekor unta dengan usia tertentu.orang itupun datang menagihnya. (Maka)
beliaupun berkata, “Berikan kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia
dengan untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur
dari untanya. Nabi (pun) berkata : “Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab,
“Engkau telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah I membalas dengan
setimpal”. Maka Nabi SAW bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang
yang paling baik dalam pengembalian (hutang)”. (HR. Bukhari, kitab Al-Wakalah, no. 2305)
Dari
Jabir bin Abdullah r.a ia berkata: “Aku mendatangi Nabi SAW di masjid,
sedangkan beliau mempunyai hutang kepadaku, lalu beliau membayarnya dam menambahkannya”.
(HR. Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2394)
[4]. Berhutang dengan niat baik
dan akan melunasinya
Jika
seseorang berhutang dengan tujuan buruk, maka dia telah berbuat zhalim dan
dosa. Diantara tujuan buruk tersebut seperti:
a).Berhutang untuk menutupi hutang yang
tidak terbayar
b).Berhutang untuk sekedar
bersenang-senang
c).Berhutang dengan
niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak diberi, maka digunakan istilah
hutang agar mau memberi.
d).Berhutang dengan niat tidak akan
melunasinya.
Dari
Abu Hurairah r.a, ia berkata bahwa Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa yang mengambil harta orang lain (berhutang) dengan
tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya), maka Allah SWT akan
tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk menghabiskannya (tidak
melunasinya, pent), maka Allah SWT akan membinasakannya”. (HR. Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2387)
Hadits
ini hendaknya ditanamkan ke dalam diri sanubari yang berhutang karena kenyataan
sering membenarkan sabda Nabi SAW diatas. Berapa banyak orang yang berhutang
dengan niat dan tekad untuk menunaikannya, sehingga Allah SWT pun memudahkan
baginya untuk melunasinya. Sebaliknya, ketika seseorang bertekad pada dirinya,
bahwa hutang yang dia peroleh dari seseorang tidak disertai dengan niat yang
baik, maka Allah SWT membinasakan hidupnya dengan hutang tersebut. Allah SWT
melelahkan badannya dalam mencari, tetapi tidak kunjung dapat. Dan dia letihkan
jiwanya karena memikirkan hutang tersebut. Kalau hal itu terjadi di dunia yang
fana, bagaimana dengan akhirat yang kekal nan abadi?
[5]. Tidak boleh melakukan jual
beli yang disertai dengan hutang atau peminjaman
Mayoritas
ulama menganggap perbuatan itu tidak boleh. Tidak boleh memberikan syarat dalam
pinjaman agar pihak yang berhutang menjual sesuatu miliknya, membeli,
menyewakan atau menyewa dari orang yang menghutanginya. Dasarnya adalah sabda
Nabi SAW: “Tidak dihalalkan melakukan peminjaman plus jual beli.” (HR.
Abu Daud no.3504, At-Tirmidzi no.1234, An-Nasa’I VII/288. Dan At-Tirmidzi
berkata: “Hadits ini hasan shahih”). Yakni agar transaksi semacam itu tidak
dimanfaatkan untuk mengambil bunga yang diharamkan.
[6]. Jika terjadi keterlambatan
karena kesulitan keuangan, hendaklah orang yang berhutang memberitahukan kepada
orang yang memberikan pinjaman.
Karena
hal ini termasuk bagian dari menunaikan hak yang menghutangkan.
Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan memperparah keadaan, dan merubah hutang, yang awalnya sebagai wujud kasih sayang, berubah menjadi permusuhan dan perpecahan.
Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan memperparah keadaan, dan merubah hutang, yang awalnya sebagai wujud kasih sayang, berubah menjadi permusuhan dan perpecahan.
[7]. Menggunakan uang pinjaman
dengan sebaik mungkin. Menyadari, bahwa pinjaman merupakan amanah yang harus
dia kembalikan.
Nabi
SAW bersabda: “Tangan bertanggung jawab atas
semua yang diambilnya, hingga dia menunaikannya”. (HR. Abu Dawud
dalam Kitab Al-Buyu’, Tirmidzi dalam kitab Al-buyu’, dan selainnya).
[8]. Diperbolehkan bagi yang
berhutang untuk mengajukan pemutihan atas hutangnya atau pengurangan, dan juga
mencari perantara (syafa’at) untuk memohonnya.
Dari
Jabir bin Abdullah r.a, ia berkata: (Ayahku) Abdullah meninggal dan dia
meninggalkan banyak anak dan hutang. Maka aku memohon kepada pemilik hutang
agar mereka mau mengurangi jumlah hutangnya, akan tetapi mereka enggan. Akupun
mendatangi Nabi SAW meminta syafaat (bantuan) kepada mereka. (Namun) merekapun
tidak mau. Beliau (Nabi SAW) berkata, “Pisahkan
kormamu sesuai dengan jenisnya. Tandan Ibnu Zaid satu kelompok. Yang lembut
satu kelompok, dan Ajwa satu kelompok, lalu datangkan kepadaku.”
(Maka) akupun melakukannya. Nabi SAW pun datang lalu duduk dan menimbang setiap
mereka sampai lunas, dan kurma masih tersisa seperti tidak disentuh. (HR.
Bukhari kitab Al-Istiqradh, no. 2405).
[9]. Bersegera melunasi hutang
Orang
yang berhutang hendaknya ia berusaha melunasi hutangnya sesegera mungkin
tatkala ia telah memiliki kemampuan untuk mengembalikan hutangnya itu. Sebab
orang yang menunda-menunda pelunasan hutang padahal ia telah mampu, maka ia
tergolong orang yang berbuat zhalim. Sebagaimana sabda Nabi SAW: “Menunda (pembayaran) bagi orang yang mampu merupakan suatu
kezhaliman”. (HR. Bukhari no. 2400, akan tetapi lafazhnya
dikeluarkan oleh Abu Dawud, kitab Al-Aqdhiah,
no. 3628 dan Ibnu Majah, bab Al-Habs
fiddin wal Mulazamah, no. 2427).
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah r,a, ia berkata, telah bersabda Nabi SAW: “Sekalipun aku memiliki emas sebesar gunung Uhud, aku tidak akan
senang jika tersisa lebih dari tiga hari, kecuali yang aku sisihkan untuk
pembayaran hutang”. (HR Bukhari no. 2390)
[10]. Memberikan
Penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan dalam melunasi hutangnya
setelah jatuh tempo.
Allah
SWT berfirman: “Dan jika (orang yang berhutang
itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. dan
menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu
Mengetahui.”(QS. Al-Baqarah: 280).
Diriwayatkan
dari Abul Yusr, seorang sahabat Nabi SAW, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa yang ingin dinaungi Allah dengan
naungan-Nya (pada hari kiamat, pent), maka hendaklah ia menangguhkan waktu
pelunasan hutang bagi orang yang sedang kesulitan, atau hendaklah ia
menggugurkan hutangnya.” (Shahih Ibnu Majah no. 1963)
Demikian
penjelasan singkat tentang beberapa adab Islami dalam utang piutang. Semoga
menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat bagi siapapun yang membacanya. Dan semoga
Allah menganugerahkan kepada kita semua rezki yang lapang, halal dan berkah,
serta terbebas dari lilitan hutang. Amin.
Semoga Bermanfaat.
Semoga Bermanfaat.
Sumber:
Alqur’an dan Al-Hadits
Majalah PENGUSAHA MUSLIM,
Edisi, Tanggal 15 November 2010
Kukira tong mi cerpen -__-
BalasHapusbut good :)
kan biar lebih menarik :D
Hapus