Jumat, 19 April 2013

Pejuang Jalanan



Mampu bersyukur dengan apa yang dimiliki saat ini itulah bahagia

“Mama cuma sebentar kok, Nak? Mudah-mudahan bisa dapat ikan yang segar.”
“Iya, Ma!” Gaga melempar senyum untuk ibunya.
Tak!

Gaga menegakkan kuda besinya dengan topangan standar dua. Ia duduk di atas motornya yang telah berusia tujuh tahun. Senja itu, sambil menunggu ibunya mencari makhluk laut yang dijual di pinggiran pantai, Gaga mencari bahan-bahan di dunia maya melalui gadget-nya untuk dituangkan dalam refaratnya yang akan diujikan besok. Bagi Gaga, satu menit sangat berharga untuknya. Dengan kesibukannya yang begitu padat menjalani pendidikan klinik di salah satu rumah sakit ternama di Makassar, ia juga harus membagi waktunya sebagai seorang anak untuk membantu ibunya. Gaga adalah anak tunggal yang tinggal bersama ibunya yang mulai memasuki usia renta. Ia ingat betul pesan almarhum ayahnya yang telah meninggal setahun silam sebelum menghembuskan nafas terakhirnya agar tetap menjaga dan menyayangi ibunya.
Beberapa saat kemudian, taksengaja ada satu pemandangan unik yang mengalihkan perhatian Gaga. Bukan topeng monyet dan bukan pula sekedar pemandangan indah sunset yang banyak dinikmati oleh kaula muda. Pemandangan unik itu adalah anak-anak pemulung.
Gaga menyimpan gadget-nya dan memperhatikan anak-anak itu dengan seksama. Penampilan mereka terlihat kusam. Mereka memungut kaleng-kaleng bekas yang banyak berserakan di jalanan. Takjarang, ada diantara mereka yang saling berebut kaleng untuk mengisi karung-karung yang mereka bawa di pundak masing-masing. Di sisi lain, tampak beberapa anak pemulung yang sedang bersantai dan menyanyikan sebuah lagu yang sedang hits di layar kaca maupun radio. Ada pula yang duduk termangu menghitung recehan yang ia dapat dari memulung seharian.
Gaga memanggil seorang anak kecil yang sedang memungut “uang”-nya. Anak kecil itu hanya berjarak beberapa meter dari tempat Gaga.
“Dek-dek!” Seorang anak kecil berambut kriting memalingkan wajahnya kepada Gaga.
“Saya?” Anak kecil itu bertanya kepada Gaga sambil menunjuk dirinya dengan tangan kanannya untuk memastikan dirinyalah yang dipanggil.
Gaga menganggukkan kepalanya.
Anak kecil itu berjalan ke arah Gaga tanpa menggunakan alas kaki dengan menyeret karungnya yang berbunyi akibat kaleng-kaleng yang berisi di dalamnya. Baju yang dikenakannya pun tak utuh layaknya kain yang telah dicabik-cabik oleh tikus.
“Nama kamu siapa, Dek?”
“Rian, Kak.”
“Rian ngapain disitu, Dek? Kok bawa karung?”
“Cari kaleng, Kak.”
“Kalengnya buat apaan, Dek?”
“Buat dijual, Kak.”
“Loh, jadi, Rian udah cari uang ya?”
“Iya.”
“Umur Rian sekarang berapa?”
“Tujuh tahun, Kak.”
“Bapak Rian dimana? Nggak kerja?”
“Kerja juga jadi pemulung. Sama seperti saya, Kak. Tapi karena uang yang bapak dapat nggak pernah cukup buat hidup sehari-hari, jadi saya dan adik perempuan saya juga ikutan kerja jadi pemulung.”
“Jadi, adik kamu juga ikut?”
“Iya, Kak. Itu dia.” Rian menunjuk ke arah seorang anak perempuan cilik yang sedang duduk di pinggir pantai menunggu dirinya.
“Kalau ibu Rian?”
“Ibu tinggal dirumah. Ibu saya sering sakit-sakitan. Jadi nggak kerja seperti saya, Kak.”
“Rian tiap hari dapat berapa dari ngumpulin kaleng bekas, Dek?”
“Nggak menentu sih, Kak. Kalau untung sih bisa dapat dua puluh lima sama tiga puluh ribu sehari. Itupun sudah dijumlah dengan uang yang didapat dari ayah dan adik saya, Kak.”
“Hmm, Rian sekolah nggak?”
“Nggak.”
“Tapi Rian masih mau sekolah?”
“Mau banget, Kak. Tapi Rian nggak tega liat ayah dan ibu.” Jawab Rian dengan sedikit terbata. Ia menundukkan kepalanya. Seketika, tersirat raut kesedihan di wajah tanpa ekspresi itu.
Rasa minder seketika itu merasuki hati Gaga. Dengan tubuh yang kecil, Rian punya tekad besar dan niat tulus membantu keluarganya agar dapat tetap bertahan hidup. Rian sepertinya sadar bahwa niatnya ingin bersekolah hanya akan menambah daftar panjang penderitaan orang tuanya.
“Rian semangat, ya?”
“Iya, Kak.”
“Bagus! Oia, Kakak punya roti. Nih buat kamu. Makan bareng adik kamu, ya?” Gaga mengeluarkan dua bungkus roti dari tasnya yang sebenarnya ingin ia jadikan sebagai cemilan untuk menunggu ibunya.
“Iya, makasih banyak, Kak.”
“Sama-sama, Dek.” Gaga mengusap-usap kepala anak itu.
“Rian ke sana dulu ya, Kak?”
“Iya, Dek.”
Rian berlari kecil menuju adiknya yang sedari tadi menunggunya untuk melanjutkan pekerjaan mereka.
Speachless. Hanya ada satu dipikiran Gaga, miris.
Anak-anak yang seharusnya pada usia mereka bergelut dengan pensil, buku tulis, serta buku cetak, harus merelakan dan melepaskan impian mereka untuk meraih cita-citanya serta rela hidup di jalanan demi beberapa lembar rupiah yang belum tentu bisa mencukupi kehidupan keluarganya. Berjuang memungut sesuatu yang dianggap kebanyakan orang sebagai “sampah”, tetapi bagi sebagian orang itulah jalan agar dapat menyambung hidup mereka. Sekalipun, harus meninggalkan semua harapan menjadi pemimpin bangsa masa depan demi berjuang untuk keluarga.
Wajah-wajah polos mereka terhiasi dengan kelelahan dan keringat yang berjatuhan. Tetapi, itu semua tertutupi dengan tawa mungil riang mereka. Rasa beban itu sama sekali tak terlihat dari ekspresi mereka. Gaga dapat melihat dari mata Rian, adiknya juga teman-temannya yang terpancar ketulusan untuk berjuang demi keluarga mereka. Betapa kerasnya kehidupan yang  harus mereka lalui. Sungguh hal yang membuat Gaga tak habis pikir sekaligus kagum terhadap anak-anak pejuang jalanan tersebut.
Entah karena paksaan dari orang tua atau inisiatif dari diri mereka sendiri, terlepas dari itu semua, pemandangan itu memilukan hati kecil Gaga yang selama ini hidup dengan berkecukupan tanpa harus memikirkan, besok apalagi yang akan di makan, ya?
Rasa syukur itu terbersit halus dalam hati Gaga. Syukur dengan kehidupan yang masih diberikan Tuhan padanya. Yang masih memberikan rezeki juga mengasihinya bersama keluarga kecilnya. Pejuang-pejuang jalanan itu memberikan pelajaran yang amat berarti baginya.
Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Matahari pun mulai kembali ke peraduannya. Masjid-masjid sekitar juga mulai memperdengarkan murottal melalui menara-menaranya yang menjulang tinggi. Dari kejauhan, tampak wanita separuh baya yang memegang dua kantong plastik hitam berjalanan menuju Gaga.
“Maaf, Nak ya? Ibu agak lama tadi karena ikannya dibersihkan dulu sisiknya. Ibu belikan ikan kesukaan kamu. Nanti malam Ibu masak. Ayo pulang!”
Alhamdulillah, iya, Ibu.”
Tak urung ucapan syukur diucapkan Gaga dalam hati berulang kali.

4 komentar: