Mampu bersyukur dengan
apa yang dimiliki saat ini itulah bahagia
“Mama
cuma sebentar kok, Nak? Mudah-mudahan bisa dapat ikan yang segar.”
“Iya,
Ma!” Gaga melempar senyum untuk ibunya.
Tak!
Gaga
menegakkan kuda besinya dengan topangan standar dua. Ia duduk di atas motornya
yang telah berusia tujuh tahun. Senja itu, sambil menunggu ibunya mencari
makhluk laut yang dijual di pinggiran pantai, Gaga mencari bahan-bahan di dunia
maya melalui gadget-nya untuk
dituangkan dalam refaratnya yang akan diujikan besok. Bagi Gaga, satu menit
sangat berharga untuknya. Dengan kesibukannya yang begitu padat menjalani
pendidikan klinik di salah satu rumah sakit ternama di Makassar, ia juga harus
membagi waktunya sebagai seorang anak untuk membantu ibunya. Gaga adalah anak
tunggal yang tinggal bersama ibunya yang mulai memasuki usia renta. Ia ingat
betul pesan almarhum ayahnya yang telah meninggal setahun silam sebelum
menghembuskan nafas terakhirnya agar tetap menjaga dan menyayangi ibunya.
Beberapa
saat kemudian, taksengaja ada satu pemandangan unik yang mengalihkan perhatian
Gaga. Bukan topeng monyet dan bukan pula sekedar pemandangan indah sunset yang banyak dinikmati oleh kaula
muda. Pemandangan unik itu adalah anak-anak pemulung.
Gaga
menyimpan gadget-nya dan
memperhatikan anak-anak itu dengan seksama. Penampilan mereka terlihat kusam. Mereka
memungut kaleng-kaleng bekas yang banyak berserakan di jalanan. Takjarang, ada
diantara mereka yang saling berebut kaleng untuk mengisi karung-karung yang
mereka bawa di pundak masing-masing. Di sisi lain, tampak beberapa anak
pemulung yang sedang bersantai dan menyanyikan sebuah lagu yang sedang hits di layar kaca maupun radio. Ada pula
yang duduk termangu menghitung recehan yang ia dapat dari memulung seharian.
Gaga
memanggil seorang anak kecil yang sedang memungut “uang”-nya. Anak kecil itu
hanya berjarak beberapa meter dari tempat Gaga.
“Dek-dek!”
Seorang anak kecil berambut kriting memalingkan wajahnya kepada Gaga.
“Saya?”
Anak kecil itu bertanya kepada Gaga sambil menunjuk dirinya dengan tangan
kanannya untuk memastikan dirinyalah yang dipanggil.
Gaga
menganggukkan kepalanya.
Anak
kecil itu berjalan ke arah Gaga tanpa menggunakan alas kaki dengan menyeret
karungnya yang berbunyi akibat kaleng-kaleng yang berisi di dalamnya. Baju yang
dikenakannya pun tak utuh layaknya kain yang telah dicabik-cabik oleh tikus.
“Nama
kamu siapa, Dek?”
“Rian,
Kak.”
“Rian
ngapain disitu, Dek? Kok bawa karung?”
“Cari
kaleng, Kak.”
“Kalengnya
buat apaan, Dek?”
“Buat
dijual, Kak.”
“Loh,
jadi, Rian udah cari uang ya?”
“Iya.”
“Umur
Rian sekarang berapa?”
“Tujuh
tahun, Kak.”
“Bapak
Rian dimana? Nggak kerja?”
“Kerja
juga jadi pemulung. Sama seperti saya, Kak. Tapi karena uang yang bapak dapat nggak
pernah cukup buat hidup sehari-hari, jadi saya dan adik perempuan saya juga ikutan
kerja jadi pemulung.”
“Jadi,
adik kamu juga ikut?”
“Iya,
Kak. Itu dia.” Rian menunjuk ke arah seorang anak perempuan cilik yang sedang
duduk di pinggir pantai menunggu dirinya.
“Kalau
ibu Rian?”
“Ibu
tinggal dirumah. Ibu saya sering sakit-sakitan. Jadi nggak kerja seperti saya,
Kak.”
“Rian
tiap hari dapat berapa dari ngumpulin
kaleng bekas, Dek?”
“Nggak
menentu sih, Kak. Kalau untung sih bisa dapat dua puluh lima sama tiga puluh
ribu sehari. Itupun sudah dijumlah dengan uang yang didapat dari ayah dan adik
saya, Kak.”
“Hmm,
Rian sekolah nggak?”
“Nggak.”
“Tapi
Rian masih mau sekolah?”
“Mau
banget, Kak. Tapi Rian nggak tega liat
ayah dan ibu.” Jawab Rian dengan sedikit terbata. Ia menundukkan kepalanya.
Seketika, tersirat raut kesedihan di wajah tanpa ekspresi itu.
Rasa
minder seketika itu merasuki hati
Gaga. Dengan tubuh yang kecil, Rian punya tekad besar dan niat tulus membantu
keluarganya agar dapat tetap bertahan hidup. Rian sepertinya sadar bahwa niatnya ingin bersekolah
hanya akan menambah daftar panjang penderitaan orang tuanya.
“Rian
semangat, ya?”
“Iya,
Kak.”
“Bagus!
Oia, Kakak punya roti. Nih buat kamu. Makan bareng adik kamu, ya?” Gaga
mengeluarkan dua bungkus roti dari tasnya yang sebenarnya ingin ia jadikan
sebagai cemilan untuk menunggu ibunya.
“Iya,
makasih banyak, Kak.”
“Sama-sama,
Dek.” Gaga mengusap-usap kepala anak itu.
“Rian
ke sana dulu ya, Kak?”
“Iya,
Dek.”
Rian
berlari kecil menuju adiknya yang sedari tadi menunggunya untuk melanjutkan
pekerjaan mereka.
Speachless. Hanya
ada satu dipikiran Gaga, miris.
Anak-anak
yang seharusnya pada usia mereka bergelut dengan pensil, buku tulis, serta buku
cetak, harus merelakan dan melepaskan impian mereka untuk meraih cita-citanya
serta rela hidup di jalanan demi beberapa lembar rupiah yang belum tentu bisa
mencukupi kehidupan keluarganya. Berjuang memungut sesuatu yang dianggap kebanyakan
orang sebagai “sampah”, tetapi bagi sebagian orang itulah jalan agar dapat menyambung
hidup mereka. Sekalipun, harus meninggalkan semua harapan menjadi pemimpin
bangsa masa depan demi berjuang untuk keluarga.
Wajah-wajah
polos mereka terhiasi dengan kelelahan dan keringat yang berjatuhan. Tetapi, itu
semua tertutupi dengan tawa mungil riang mereka. Rasa beban itu sama sekali tak
terlihat dari ekspresi mereka. Gaga dapat melihat dari mata Rian, adiknya juga
teman-temannya yang terpancar ketulusan untuk berjuang demi keluarga mereka. Betapa
kerasnya kehidupan yang harus mereka
lalui. Sungguh hal yang membuat Gaga tak habis pikir sekaligus kagum terhadap
anak-anak pejuang jalanan tersebut.
Entah
karena paksaan dari orang tua atau inisiatif dari diri mereka sendiri, terlepas
dari itu semua, pemandangan itu memilukan hati kecil Gaga yang selama ini hidup
dengan berkecukupan tanpa harus memikirkan, besok
apalagi yang akan di makan, ya?
Rasa
syukur itu terbersit halus dalam hati Gaga. Syukur dengan kehidupan yang masih
diberikan Tuhan padanya. Yang masih memberikan rezeki juga mengasihinya bersama
keluarga kecilnya. Pejuang-pejuang jalanan itu memberikan pelajaran yang amat
berarti baginya.
Tak
terasa waktu berjalan begitu cepat. Matahari pun mulai kembali ke peraduannya.
Masjid-masjid sekitar juga mulai memperdengarkan murottal melalui menara-menaranya yang menjulang tinggi. Dari
kejauhan, tampak wanita separuh baya yang memegang dua kantong plastik hitam berjalanan
menuju Gaga.
“Maaf,
Nak ya? Ibu agak lama tadi karena ikannya dibersihkan dulu sisiknya. Ibu
belikan ikan kesukaan kamu. Nanti malam Ibu masak. Ayo pulang!”
“Alhamdulillah, iya, Ibu.”
Tak urung ucapan syukur
diucapkan Gaga dalam hati berulang kali.
keren...
BalasHapusalhamdulillah, terima kasih buat apresiasinya :')
Hapusaseek
BalasHapusGood story...
BalasHapus